HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Generasi Z Indonesia: Mengapa Diprediksi Jadi Generasi Paling Miskin?

Generasi Z Indonesia: Mengapa Diprediksi Jadi Generasi Paling Miskin?
Ilustrasi by: Pixabay

KabaRakyat.web.id - Pernahkah sobat KabaRakyat mendengar bahwa Generasi Z diprediksi menjadi generasi paling miskin di Indonesia? Mungkin terdengar pesimis, tetapi mari kita bongkar permasalahan satu per satu.

Krisis ini mencakup ekonomi, sosial, hingga budaya, dan semakin kompleks dari waktu ke waktu. Apa saja yang membuat Generasi Z menghadapi tantangan besar ini? Yuk, simak ulasan berikut.

Sobat KabaRakyat, salah satu kendala terbesar yang dihadapi Generasi Z adalah kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sudah banyak cerita tentang lulusan baru yang mengirim ratusan lamaran tanpa hasil.

Budaya nepotisme atau "orang dalam" menjadi salah satu penyebabnya. Penelitian dari World Bank menunjukkan sekitar 42% bisnis di Indonesia terhambat oleh praktik ini.

Bagi anak muda yang memiliki kemampuan mumpuni tetapi tidak memiliki koneksi, peluang kerja menjadi lebih sulit. Hal ini jelas berbeda dengan negara maju seperti Kanada atau Australia, di mana kompetensi lebih dihargai daripada koneksi.

Selain itu, Sobat KabaRakyat mungkin sudah tau bahwa pendidikan di Indonesia juga menghadapi kritik tajam. Sistemnya dianggap kurang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Lulusan sekolah sering kali tidak dibekali dengan soft skill seperti komunikasi atau cara menyusun CV. Bahkan, pendidikan vokasi yang seharusnya menjadi solusi juga seringkali tidak mendapat perhatian yang cukup. Kurikulum yang tidak sesuai kebutuhan industri dan ketimpangan akses pendidikan memperburuk kondisi ini.

Sahabat KabaRakyat, masalah gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup juga menjadi tantangan besar. Di Jakarta, UMR sekitar Rp4,9 juta, sementara kebutuhan hidup layak mencapai Rp8 juta.

Banyak generasi muda yang merasa gaji mereka hanya cukup untuk kebutuhan pokok tanpa ada ruang untuk menabung atau berinvestasi. Ketimpangan ini semakin mencolok ketika mereka yang memiliki privilese mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, sementara yang lain terjebak di pekerjaan bergaji rendah.

Tekanan gaya hidup juga menjadi beban bagi Generasi Z, Sobat KabaRakyat. Media sosial memunculkan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang membuat banyak anak muda merasa perlu mengikuti tren, meski penghasilan tidak mencukupi.

Akibatnya, banyak dari mereka terjebak dalam gaya hidup konsumtif hingga terlilit utang, termasuk pinjaman online. Fenomena ini juga berhubungan dengan meningkatnya kasus judi online, yang menjadi pelarian dari tekanan sosial dan ekonomi.

Sobat KabaRakyat, bonus demografi yang saat ini menjadi peluang besar bagi Indonesia, sayangnya, belum dimanfaatkan secara maksimal. Kurangnya fokus pemerintah pada pengembangan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebabnya. Generasi Z yang tumbuh di era digital sering kali tidak cocok dengan sistem kerja lama yang masih banyak digunakan di berbagai sektor.

Lebih dari itu, Sahabat KabaRakyat, stigma buruk terhadap Generasi Z seperti dianggap malas, tidak tahan tekanan, atau terlalu sensitif juga memperburuk situasi.

Banyak perusahaan yang salah mengartikan upaya mereka untuk mendapatkan work-life balance sebagai kurangnya komitmen. Padahal, tuntutan lingkungan kerja yang sehat dan adil menjadi prioritas mereka.

Dari semua permasalahan ini, Sobat KabaRakyat, jelas bahwa Generasi Z menghadapi tantangan yang sangat besar. Jika tidak segera ada pembenahan, kita berisiko kehilangan potensi besar dari generasi muda ini. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha perlu bekerja sama untuk menciptakan solusi yang inklusif dan berkelanjutan.

Semoga artikel ini memberikan wawasan bagi Sahabat KabaRakyat semua. Terus dukung generasi muda agar mereka bisa menghadapi tantangan ini dengan optimisme dan semangat juang yang tinggi!

Posting Komentar