Mengapa Banyak Pasangan Jatuh Miskin Setelah Pernikahan di Indonesia?
Ilustrasi by: Pixabay |
KabaRakyat.web.id - Pernikahan sering dianggap sebagai momen bahagia yang menyatukan dua hati. Namun, di Indonesia, pernikahan lebih dari sekadar itu.
Pesta pernikahan juga sering berubah menjadi ajang pembuktian gengsi sosial, simbol status keluarga, bahkan proyek besar yang melibatkan banyak pihak. Dalam euforia merencanakan pesta, satu hal sering terlupakan: dampaknya terhadap keuangan pasangan.
Banyak pasangan yang baru memulai perjalanan hidup bersama malah harus menanggung utang besar karena tuntutan pesta mewah. Kenapa ini bisa terjadi? Dan apa dampaknya terhadap kehidupan setelah hari pernikahan selesai? Yuk, kita bahas lebih dalam fenomena ini!
Pernikahan: Dari Rencana Sederhana Jadi Proyek Keluarga Besar
Sobat KabaRakyat, pernahkah kalian mendengar cerita pasangan yang awalnya ingin pernikahan sederhana, tapi berubah karena tekanan sosial? Misalnya, mereka berencana mengundang 100–200 orang di rumah atau gedung kecil. Tapi begitu ide itu sampai ke keluarga besar, muncul komentar seperti:
-
“Masa pestanya kecil banget? Kita kan keluarga besar!”
-
“Kalau sederhana, nanti dianggap enggak mampu.”
Akhirnya, pesta sederhana berubah menjadi ajang besar yang harus memuaskan semua pihak. Masalahnya, memuaskan semua orang itu tidak murah. Ironisnya, orang-orang yang menuntut pesta besar sering tidak membantu biaya, sehingga beban jatuh ke pasangan pengantin.
Gengsi Sosial di Balik Pernikahan Mewah
Di masyarakat kita, pesta pernikahan sering dilihat sebagai simbol keberhasilan keluarga. Logikanya sederhana: semakin mewah pesta, semakin tinggi derajat keluarga.
Tak jarang, pasangan dipaksa mengikuti standar ini meski sebenarnya tidak mampu. Bahkan, ada orang tua yang mendesak anaknya untuk membuat pesta besar agar keluarga terlihat “mampu” di mata masyarakat.
Padahal, dekorasi megah, makanan lezat, dan hiburan mahal hanya berlangsung sehari. Tapi, utangnya? Bisa bertahan bertahun-tahun.
Media Sosial: Tekanan Baru bagi Pasangan
Fenomena media sosial juga memperparah tekanan ini. Foto-foto pesta pernikahan megah dengan gaun mahal, dekorasi bunga, dan caption seperti “pernikahan impian” membuat pasangan merasa harus mengikuti standar tersebut. Tak sedikit yang akhirnya berutang demi terlihat sempurna di depan teman-teman dan followers mereka.
Namun, ada juga pasangan yang memilih menikah sederhana dan justru mendapat dukungan positif. Mereka fokus pada makna pernikahan, bukan pada kemegahan pestanya.
"Sekali Seumur Hidup": Alasan Klasik yang Menjebak
Ungkapan “pernikahan cuma sekali seumur hidup” sering dijadikan pembenaran untuk pengeluaran besar. Tapi, apakah pesta mewah menjamin kebahagiaan? Data menunjukkan angka perceraian di Indonesia terus meningkat, bahkan di kalangan pasangan muda.
Pernikahan seharusnya menjadi awal perjalanan panjang bersama, bukan ajang mengorbankan stabilitas finansial demi satu hari perayaan.
Di beberapa daerah, berutang untuk pesta pernikahan dianggap wajar. Bahkan, ada keluarga yang rela meminjam uang dari bank demi menjaga gengsi.
Sayangnya, beban utang ini sering jatuh ke pasangan baru, membuat mereka memulai kehidupan rumah tangga dalam kondisi finansial minus.
Solusi: Fokus pada Masa Depan, Bukan Gengsi
Sobat KabaRakyat, ada banyak cara untuk menikah tanpa harus terjebak utang:
-
Buat anggaran realistis.
-
Undang hanya orang-orang terdekat.
-
Pertimbangkan menikah di KUA tanpa pesta besar.
Esensi pernikahan adalah komitmen, bukan kemegahan pesta. Mari ubah budaya kita untuk lebih mendukung kebahagiaan dan stabilitas pasangan baru, daripada sekadar memprioritaskan gengsi.
Pernikahan bukan hanya tentang satu hari itu, tetapi tentang perjalanan panjang bersama. Jangan biarkan tekanan sosial dan gengsi membuat kalian mengambil keputusan yang akan disesali.
Sobat KabaRakyat, yuk bagikan pendapat kalian di kolom komentar! Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di artikel berikutnya!