PPDB Jadi SPMB 2025, Apa yang Berubah dan Bagaimana Dampaknya?
Sumbar, KabaRakyat.web.id - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menggagas skema baru dalam penerimaan murid baru di tahun 2025.
Sistem ini yang sebelumnya dikenal sebagai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan berganti nama menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Langkah ini diklaim sebagai respons atas berbagai kendala yang muncul dalam implementasi PPDB, namun apakah benar perubahan ini dapat menyelesaikan permasalahan yang ada?
Menurut Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), perubahan nama dari PPDB menjadi SPMB sebenarnya tidak serta-merta mengatasi permasalahan utama dalam penerimaan siswa baru.
Meski ada beberapa perubahan mekanisme, seperti penggantian jalur zonasi menjadi jalur domisili, permasalahan utama yang dihadapi, yakni keterbatasan daya tampung sekolah negeri, masih menjadi tantangan terbesar. Saat ini, daya tampung sekolah negeri untuk jenjang SMA hanya sekitar 38%, sehingga 62% siswa lainnya harus beralih ke sekolah swasta.
Perubahan skema jalur penerimaan di SPMB memang terlihat signifikan. Jika sebelumnya jalur zonasi memiliki persentase penerimaan 50%, kini diubah menjadi jalur domisili dengan porsi yang lebih kecil, yaitu 30-40% untuk SMP dan hanya 30% untuk SMA.
Sementara itu, jalur afirmasi dan prestasi mendapatkan peningkatan alokasi. Retno menilai penghapusan zonasi menjadi domisili tetap tidak menyentuh akar masalah, yaitu kurangnya jumlah sekolah negeri.
Bahkan, sistem domisili yang menghapus dasar kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dianggap dapat menimbulkan permasalahan baru, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta yang memiliki struktur permukiman unik seperti rumah susun dan apartemen.
Lalu Mara Satriawangsa, Wakil Ketua Komisi X DPR, mengakui bahwa penghapusan jalur zonasi menjadi domisili tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Ia menegaskan perlunya fleksibilitas lebih besar dalam penerapan sistem oleh pemerintah daerah.
Dalam rapat bersama Kemendikbud, Komisi X mendorong agar KK tetap menjadi syarat utama dalam sistem domisili untuk mencegah kecurangan, seperti manipulasi alamat. Selain itu, daerah-daerah yang tidak memiliki SMA negeri di satu kecamatan akan menerapkan sistem rayon untuk menampung siswa.
Namun, keterbatasan sekolah negeri juga menjadi masalah yang lebih luas. Untuk daerah seperti Jakarta, langkah menggandeng Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) telah membantu mengurangi praktik kecurangan dalam penerimaan siswa.
Langkah ini melibatkan verifikasi berlapis terhadap dokumen kependudukan, seperti surat adopsi atau surat kematian jika siswa berada dalam perwalian. Sayangnya, implementasi sistem seperti ini tidak merata di seluruh daerah.
Selain perubahan skema penerimaan siswa, Kemendikbud juga mengkaji penerapan kembali Ujian Nasional (UN) dengan nama baru, yaitu Tes Kompetensi Akademik (TKA).
Tes ini direncanakan untuk mengukur kompetensi akademik siswa di tingkat akhir dengan standar yang lebih komprehensif, mencakup pendidikan karakter dan mental. Namun, kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan dan belum menjadi keputusan final.
Perubahan dalam sistem penerimaan murid baru dan evaluasi akhir pendidikan memang menunjukkan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, seperti yang disampaikan Retno dan Lalu, tanpa penambahan jumlah sekolah negeri dan pemerataan fasilitas pendidikan, berbagai perubahan ini mungkin hanya bersifat kosmetik.
Sistem pendidikan yang berkeadilan hanya dapat tercapai jika semua siswa memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Ke depan, pemerintah harus lebih serius dalam menyelesaikan permasalahan mendasar seperti keterbatasan daya tampung sekolah negeri, distribusi guru, serta pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan begitu, reformasi yang dilakukan tidak hanya mengganti nama, tetapi benar-benar membawa perubahan yang berarti bagi dunia pendidikan Indonesia.