Update! Rupiah Tembus Rp16.800, Utang Negara Membengkak

Sumbar, KabaRakyat.web.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah hingga tembus Rp17.000. Angka ini jadi level terendah sejak reformasi 1998. Kekhawatiran muncul terkait dampaknya pada ekonomi domestik. Indonesia alami pelemahan terdalam di ASEAN. Faktor eksternal dan internal jadi penyebab utama.
Pada 1997-1998, rupiah pernah anjlok ke Rp16.800 akibat krisis moneter. Kini, Rp17.000 jadi peringatan keras bagi perekonomian. Pemerintah sering sebut faktor luar seperti tarif global. Namun, ada masalah mendasar di dalam negeri. Hal ini perlu perhatian serius.
Faktor eksternal seperti kebijakan tarif AS memang berpengaruh besar. Tapi, kenapa hanya Indonesia yang terpuruk parah? Negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam tak separah ini. Pasar modal Indonesia juga jadi yang terlemah di Asia Tenggara. Ada apa sebenarnya?
Data makro ekonomi tunjukkan kondisi kurang sehat di Indonesia. Penerimaan pajak anjlok pada Februari lalu, meski ada kenaikan Maret. Namun, data resmi masih ditunggu untuk konfirmasi. Ketidakpastian ini jadi salah satu kelemahan. Sobat KabaRakyat, ini perlu kita waspadai.
Utang luar negeri Indonesia capai 30,3% dari PDB. Angka ini masih dianggap aman oleh banyak pihak. Tapi, peningkatan utang tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Indikator ekonomi terus rendah dan tak signifikan. Ini jadi beban di masa depan.
Utang korporasi juga terus naik, capai 194,4 miliar dolar AS. Data Januari menunjukkan tren ini belum terkendali. Banyak perusahaan tak laporkan utangnya secara transparan. Hal ini tambah risiko ekonomi kita. Ketidakpastian semakin terasa kuat.
Devisa hasil ekspor juga jadi masalah serius. Banyak pengusaha sembunyikan devisa di luar negeri. Mereka takut dipaksa tarik dana ke Indonesia. Ini tunjukkan lemahnya kepercayaan pada sistem. Fundamental ekonomi kita jadi sorotan utama.
Sobat KabaRakyat, pemerintah coba mitigasi dengan berbagai cara. Bank Indonesia (BI) pertahankan suku bunga 5,75% untuk tarik investor. Angka ini cukup tinggi di kawasan ASEAN. Tapi, rupiah tetap jeblok ke Rp17.000. Upaya ini tampak kurang efektif.
BI juga lakukan triple intervention untuk stabilkan rupiah. Langkah ini lebih maju dari dual intervention sebelumnya. Namun, depresiasi tetap dalam dan tak terkendali. Biaya intervensi capai miliaran dolar AS. Hasilnya hanya sementara saja.
Libur panjang domestik jadi faktor tambahan pelemahan rupiah. Pasar global tetap jalan saat Indonesia libur Nyepi dan Lebaran. Otoritas keuangan terlambat antisipasi situasi ini. Kantor BI di luar negeri juga libur. Ini kurangi pengawasan pasar valas.
Meski ada upaya stabilisasi, investor tetap panik tarik dana. Suku bunga tinggi tak cukup jadi daya tarik. Triple intervention juga tak beri dampak signifikan. Evaluasi mendalam perlu dilakukan segera. Sobat KabaRakyat, ini jadi PR besar.
Biaya intervensi BI sangat tinggi, capai 2,5-3 miliar dolar. Rupiah sempat naik ke Rp16.700, tapi kini Rp16.800 lagi. Metode konvensional ini dinilai boros devisa. Efektivitasnya dipertanyakan banyak pihak. Alternatif lain perlu dipertimbangkan cepat.
Salah satu opsi adalah swap agreement via Chiang Mai Initiative. Malaysia dan Thailand sudah pakai cara ini. Biayanya lebih murah dibanding intervensi biasa. Tapi, Indonesia tampak enggan gunakan strategi ini. Alasan pastinya masih belum jelas.
Utang pemerintah dan swasta jadi beban tambahan saat ini. Depresiasi rupiah buat pembayaran utang lebih mahal. Bunga dan pokok utang naik signifikan. Ini tekan APBN dari sisi lain. Pengurangan tekanan subsidi tak cukup imbangi.
Jika rupiah terus melemah, APBN bisa tak seimbang lagi. Pembiayaan membengkak, program masyarakat terancam berkurang. Pengusaha swasta juga kesulitan bayar utang. PHK massal bisa jadi ancaman nyata. Ini prediksi skenario terburuk.
Perfect storm ekonomi bisa guncang stabilitas nasional. Penerimaan negara turun, utang sulit dibayar, dan PHK melonjak. Tak hanya ekonomi, masalah sosial juga muncul. Kepercayaan pada kepemimpinan bisa goyah. Pemerintah harus lebih hati-hati.
Sobat KabaRakyat, krisis 1998 jadi pelajaran berharga. Pemerintah saat itu terlalu percaya diri, tapi akhirnya hancur. Antisipasi skenario terburuk sangat penting sekarang. Mitigasi harus disiapkan matang-matang. Kita tak ingin sejarah terulang.
mahan rupiah ini tantang ketahanan ekonomi domestik. Pemerintah dan BI perlu langkah cerdas dan efektif. Transparansi biaya intervensi juga harus dibuka. Masyarakat berhak tahu dampaknya. Harapan kita, stabilitas segera pulih kembali.